KEKUATAN UDARA
DAN PERTAHANAN NASIONAL
Tulisan ini mencoba
melihat pembelian Sukhoi dari kerangka pikir yang lebih luas yaitu dengan
menghubungkannya dengan masalah kebutuhan pertahanan nasional. Pertahanan di
sini diartikan sebagai pertahanan terhadap ancaman bersenjata atau yang
berimplikasi pada penggunaan kekuatan bersenjata yang datang dari kekuatan
eksternal.
Kebijakan pertahanan
nasional selalu diarahkan pada tiga tujuan fundamental yaitu perlindungan
wilayah/teritorial, kedaulatan, dan keselamatan bangsa. Dalam konteks
Indonesia, upaya untuk memenuhi kepentingan pertahanan nasional di atas harus
memperhatikan, pertama, faktor geostrategis negara baik ke dalam dan
keluar. Ke dalam, yaitu untuk menciptakan sistem pertahanan nasional yang
kredibel yang didasarkan atas konsep unified approach atau a single
all-encompassing strategy yang meng-cover 17 ribu lebih pulau dengan luas 7.7
juta Km2 (termasuk wilayah zona ekonomi eksklusif) dengan panjang pantai
sekitar 80 ribu kilometer. Upaya bela negara bagi negara kepulauan seperti
Indonesia berarti juga mempertahankan kedaulatan maritim dan sumber daya yang
berada di dalamnya. Keluar, untuk menciptakan faktor penangkal yang kuat
kepada pihak eksternal, paling tidak melalui pengembangan kemampuan surveillance
dan reconaissance.
Kedua, sistem dan strategi pertahanan nasional harus memperhatikan
perubahan-perubahan dunia internasional, terutama perubahan sifat perang, sifat
dan bentuk ancaman dalam dunia yang digerakkan oleh perkembangan pesat di
bidang teknologi dan komunikasi. Perang modern, dengan pengecualian perang
untuk menggulingkan suatu rejim, tidak lagi didominasi perang teritorial yang
dilakukan dengan konsep-konsep perlawanan bersenjata secara gerilya, melainkan
merupakan perang yang menekankan penghancuran infrastruktur vital atau center
of gravity. Perkembangan ini mau tidak mau haruslah mengubah cara
pandang/paradigma pertahanan negara Indonesia sebagai negara kepulauan.
Kalaupun pemikiran-pemikiran atas dasar land-based strategy masih dipertahankan,
strategi ini akan berjalan efektif dengan dukungan kekuatan udara dan laut.
Dalam sejarahnya, terutama sejak abad ke 20, kekuatan darat selalu menghadapi
kesulitan dalam menghadapi kekuatan udara yang tangguh. Lebih ekstrim lagi,
pada era modern ini, kekuatan darat tidak pernah menang tanpa bantuan kekuatan
udara (mungkin dengan pengecualian kasus kemenangan Vietnam Utara atas Vietnam
Selatan tahun 1975). Sebaliknya, bahkan dalam apa yang disebut sebagai
low-intensity conflict pun kekuatan udara mempunyai keunggulan atas kekuatan
darat yang menggunakan taktik perang gerilya, terutama dalam aspek mobilitas,
pengintaian udara, kemampuan pukul balik yang cepat. Dewasa ini kelihatan bahwa
kekuatan laut pun harus didukung oleh kekuatan udara untuk keberhasilan
misi-misi mereka. Lebih jauh, kemajuan teknologi informasi dan persenjataan,
misalnya munculnya rudal-rudal balistik, telah mengaburkan. Batas-batas
teriorial dan sifat perang menjadi lebih cepat, negara makin rawan terhadap
serangan preemptif, dan memerlukan kekuatan mobile dan efektif.
Saat ini ancaman sangat
menyebar dan bergerak dengan cepat, serta bersifat multidimensional. Perang
teritorial dengan melakukan pendudukan atas wilayah musuh menjadi tidak populer
dan mahal baik secara finansial, politik, dan moral. Sifat dan bentuk ancamann
menjadi makin kompleks terutama dengan memperhatikan posisi geografis
Indonesia. Indonesia sedang dan akan menghadapi masalah-masalah baru yang tidak
dapat dihindarkan misalnya migrasi ilegal, perdagangan obat bius dan obat-obat
terlarang lain, pencucian uang, pencurian ikan, perdagangan gelap yang lain,
serta terorisme internasional.
Perkembangan-perkembangan
ini telah merubah cara pandang dalam pemikiran dan perencanaan strategis yang
mengarah pada kebutuhan akan kekuatan yang terlatih dan dilengkapi dengan
kemampuan untuk bergerak cepat. Dalam kaitan ini kekuatan udara akan mempunyai
peran yang sangat penting dan strategis karena kecepatan dan fleksibelitasnya.
Dalam perkembangan terakhir, kita menyaksikan era dominasi kekuatan udara dalam
peperangan modern. Kekuatan udara telah berhasil menciptakan situasi dan
mempengaruhi bagaimana perang dilakukan, menyediakan berbagai pilihan-pilihan
operasi militer, bahkan membendung musuh tidak hanya dalam pertempuran, melainkan
juga dalam mengembangkan strategi mereka secara umum.
Argumen di atas tidak
untuk menolak pentingnya kekuatan darat sebab bagaimanapun kekuatan udara tidak
akan pernah mampu melakukan penguasaan daratan. Melainkan untuk menegaskan
bahwa kekuatan udara merupakan kekuatan utama yang membentuk paradigma tentang
perang dan perencanannya, pengorganisasian (organising), penyusunan
(structuring), dan komando (commanding) kekuatan militer, terutama bagi
negara-negara yang mempunyai wilayah kepulauan sangat luas dan menyebar.
Implikasi
terhadap strategi pertahanan
Perubahan
internasional, sifat perang, bentuk dan sifat ancaman, dan reformasi di dalam
tubuh militer Indonesia menjadi faktor penting dalam merubah strategi
pertahanan Indonesia yang masih bertumpu pada doktrin kekuatan darat dengan
implikasi institusi yang berwujud struktur teritorial. Perdebatan mengenai
struktur teritorial muncul, tidak hanya karena pengalaman implikasi negatifnya
terhadap sistem politik Indonesia, tetapi juga karena dilihat tidak efektif
untuk memenuhi kepentingan pertahanan Indonesia dari bentuk dan sumber ancaman,
jenis konflik, dan perkembangan teknologi dan informasi di masa depan. Dua
kejadian masing-masing di atas Bawean, Jawa Timur, dan di sekitar Natuna
baru-baru ini, menunjukkan betapa lemahnya pertahanan udara dan laut kita. Hal
yang sama juga bisa kita lihat dalam kasus maraknya bajak laut,
penyelundupan/pencurian ikan, dan berbagai pelanggaran wilayah udara dan laut.
Ancaman baru ke depan akan lebih banyak memanipulasi keterbukaan wilayah laut
dan udara Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya yang justru menjadi
kelemahan dan sumber kerugian yang selama ini ditanggung oleh Indonesia.
Secara umum doktrin pertahanan berisi konsepsi tentang hakekat,
bentuk, dan sumber ancaman. Doktrin kemudian dijabarkan ke dalam strategi,
postur dan struktur kekuatan (posture and force structure), dan penggelarannya.
Sistem pertahanan Indonesia didasarkan atas doktrin pertahanan semesta
(sishanta) yang baik dilihat dari sisi sejarah maupun strategi militer,
mengandung tiga masalah. Pertama, bahwa doktrin ini masih mempunyai implikasi
politik dalam arti luas yang sangat kental, meskipun secara formal dwifungsi
sudah dihapus. Kedua, sistem pertahanan yang bertumpu pada matra kekuatan darat
perlu ditinjau lagi karena tidak sesuai dengan posisi Indonesia sebagai negara
kepulauan dan membuat pertahanan militer Indonesia sangat terbuka terhadap
ancaman udara dan maritim serta serangan musuh. Ketiga, sishanta sebenarnya
bukan monopoli Indonesia. Singapura memiliki apa yang disebut total defence.
Demikian juga dengan negara-negara lain yang memiliki dinas wajib militer
melalui sistem konskripsi (conscription) atau mobilisasi. Land-based strategy
dalam sishanta di Indonesia harusnya merupakan pilihan terakhir.
Untuk itu harus
dilakukan restrukturisasi. Restrukturisasi sistem pertahanan Indonesia harus
semata-mata berdasarkan pada kepentingan pertahanan (defence), bukan politik.
Sebagai negara kepulauan yang terbuka, maka harusnya Indonesia mengembangkan
strategi pertahanan yang bersifat active defence yang harus ditopang oleh
kekuatan udara yang memadai. Active defence bisa berperan sebagai faktor
penangkal yang efektif (deterrence factor).
Idealnya, upaya
restrukturisasi dilakukan setelah defence review yang didahului analisis
mengenai lingkungan strategis, potensi ancaman, dan tantangan keamanan ke
depan. Dari analisis ini lahir titik-titik rawan wilayah Indonesia yang
dijadikan dasar bagi pengembangan kekuatan militer. Untuk mengatasi titik-titik
rawan hasil analisis tersebut perlu dikembangkan wilayah pertahanan yang
mengarah pada pengembangan strategi defence in-depth di mana kekuatan udara
(dan laut) akan menjadi kekuatan utama dalam zona pertahanan pertama dan kedua.
Kebutuhan minimum pertahanan dalam strategi dan zona pertahanan ini adalah air
surveillance dan reconnaissance yang dapat memberikan suatu early warning dan
analisis tentang intensi (maksud). Ini bisa dicapai dengan melakukan kegiatan
surveillance dan reconnaissance secara terus-menerus sehingga ditemukan pola
perilaku. Dalam bidang pertahanan, air surveillance berperan tiga hal:
strategic role, informasi intelijen, kontribusi pada operasi militer.
Gambaran di atas
barangkali kelihatan ideal, tetapi sekaligus merupakan kebutuhan/tuntutan ke
depan. Indonesia harus menerapkan strategi pertahanan yang sesuai dengan posisi
geo-strategis dan perkembangan-perkembangan internasional yang melahirkan
beragam bentuk dan sifat ancaman. Gambaran tentang perlunya pengembangan
kekuatan udara tentu tidak terbatas pada masalah-masalah di atas. Perlu
perumusan kebijakan atas dasar pertimbangan atau prioritas aspek mana yang
harus diperkuat. Selain itu, ada implikasi finansial, politik, baik dalam
negeri maupun luar negeri, dan sistem pertahanan secara keseluruhan. Ini semua
membutuhkan komitmen politik nasional dari semua stakeholders terutama terhadap
reformasi bidang keamanan. Jadi, sebenarnya kebutuhan pertahanan tidak pernah
lahir secara mendadak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar