LANDASAN
TEORI
2.1 Pengukuran Kerja Operator
Pengukuran
kerja operator adalah aktifitas untuk menilai dan mengevaluasi kecepatan
operator. Tujuanya adalah untuk menormalkan waktu kerja yang disebabkan oleh
ketidakwajaran. Pengukuran waktu kerja adalah usaha untuk menentukan lama kerja
yang dibutuhkan seorang operator terlatih dan qualified dalam menyelesaikan suatu pekerjaan yang spesifik pada
tingkat kecepatan kerja yang normal dalam lingkup kerja yang terbaik pada saat
itu (gerradoke.blogspot.com).
Penelitian kerja analisa metode kerja pada dasarnya akan
memusatkan perhatian pada suatu macam pekerjaan yang
akan diselesaikan. Pekerjaan dikatakan selesai secara efisien apabila waktu penyelesaiannya berlangsung
paling singkat. Pengukuran waktu kerja ini akan berhubungan dengan usaha-usaha
dalam menetapkan waktu baku yang dipergunakan untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan. Singkatnya pengukuran kerja adalah metode penetapan keseimbangan antara jalur manusia
yang dikonstribusikan dengan unit output yang dihasilkan
(Sritomo, 1992).
2.2 Penyesuaian Waktu dengan Rating Performance Kerja
Barangkali bagian yang paling penting tetapi justru yang
paling sulit didalam pelaksanaan pengukuran kerja adalah kegiatan evaluasi
kecepatan atau tempo kerja operator pada saat pengukuran kerja berlangsung.
Kecepatan, usaha, tempo, ataupun performance
kerja semuanya akan menunjukkan kecepatan gerakan operator pada saat bekerja.
Aktifitas untuk menilai atau mengevaluasi kecepatan kerja operator ini dikenal
sebagai Rating Performance. Secara umum kegiatan rating ini dapat didefinisikan sebagai a process during which the time study analyst compare yhe performance
(speed or tempo) of the operator under observation with the opserver’s own
concept of normal performance (Sritomo, 1992).
Umumnya dalam pelaksanaan pengukuran
kerja dilakukan terlebih dahulu pembagian operasi menjadi elemen-elemen kerja
dan mengukur masing-masing elemen kerja tersebut. Pemecahan operasi menjadi
elemen-elemen kerja perlu dilakukan dengan alasan-alasan sebagai berikut
(Sutalaksana, 2006):
1.
Menggambarkan suatu
operasi adalah dengan membagi kedalam elemen-elemen kerja yang lebih utama dan
mempu untuk diukur dengan mudah secara terpisah.
2.
Besarnya waktu baku
bisa ditetapkan berdasarkan elemen-elemen pekerjaan yang ada.
3.
Dapat menganalisa
waktu baku yang berlebihan untuk tiap-tiap elemen yang ada.
4.
Operator akan
bekerja pada tempo yang berbeda pada setiap siklus kerja berlangsung.
Kegiatan pelaksanaan kerja, kegiatan evaluasi kecepatan,
dan waktu kerja operator merupakan bagian
paling penting dan paling sulit dalam pelaksanaan
pengukuran kinerja
operator saat kegiatan berlangsung. Kecepatan, usaha,
jarak, ataupun kinerja kerja lainnya akan memberikan kecepatan gerakan operator pada saat
bekerja. Aktivitas untuk menilai atau mengevaluasi kecepatan kerja operator
dikenal sebagai peringkat kinerja (Sutalaksana,
2006).
Peringkat kinerja ini
dilakukan dengan harapan waktu kerja yang diukur dapat dinormalkan kembali.
Ketidaknormalan dari waktu kerja diakibatkan kerja operator yang kurang wajar
atau bekerja dalam waktu yang tidak semestinya. Penormalan waktu kerja yang diperoleh dari hasil
pengamatan dilakukan dengan mengadakan penyesuaian menggunakan Tabel
2.1 (Sutalaksana, 2006).
Tabel 2.1 Penormalan Waktu Kerja
Nilai Kerja
|
Keterangan
|
P > 1 atau P
> 100%
|
Operator
dinyatakan bekerja terlalu cepat
|
P < 1 atau P
< 100%
|
Operator
dinyatakan bekerja terlalu lambat
|
P = 1 atau P =
100%
|
Operator
dinyatakan bekerja secara normal atau wajar
|
2.3 Peringkat Kinerja dengan Metoda Peringkat
Kecepatan
Dalam praktek kemampuan kerja, metode penetapan peringkat
kinerja kerja operator didasarkan pada suatu faktor tunggal yaitu kecepatan
operator atau tempo operator. Sistem ini dikenal sebagai peringkat kinerja atau
peringkat kecepatan yang umumnya dinyatakan dalam persen atau angka desimal, dimana kinerja tidak normal sama dengan 100% atau
0,01. Penetapan
besar kecilnya angka akan dilakukan oleh analisis studi waktu sendiri, sehingga
untuk itu dibutuhkan pengalaman yang cukup didalam mengevaluasi kerja yang
ditunjukan operator. Pelatihan analisis studi waktu agar bisa merating secara
tepat, manggunakan Time Study Rating Film
(TSRF) yang diproduksi TSRF menggambarkan suasana yang ada dikantor,
laboratorium operasi dan manufaktur. Dalam film ini digambarkan situasi-situasi
kerja dari operator yang mengerjakan elemen kerja yang sama dengan berbagai
kecepatan kerja yang berlainan. Analisa studi waktu akan dilatih untuk
mengamati situasi kerja ini kemudian diharapkan memberikan penilaian kinerja secara
langsung dari operator yang dilihat (Nurmiyanto,
1991).
Apabila
penyimpangan penilaian yang dibuat tidak lebih dari 5% dari yang sebenarnya
maka bisa diartikan bahwa analis studi waktu tersebut dapat mampu melaksanakan
penilaian kinerja secara langsung. Faktor peringkat sebenarnya pada dasarnya
diaplikasikan untuk menormalkan waktu kerja yang diperoleh dari pengukuran
kerja akibat tempo atau kecepatan operator yang berubah-ubah. Untuk maksud ini,
waktu normal dapat diperoleh dari rumus berikut (Nurmiyanto, 1991):
2.4 Melakukan Perhitungan Waktu Baku
Jika pengukuran-pengukuran telah selesai, yaitu semua data
yang didapat memiliki keseragaman yang dikehendaki yang diinginkan, maka
selesailah kegiatan pengukuran waktu. Langkah selanjutnya adalah mengolah data
tersebut sehingga memberikan waktu baku
(Sutalaksana, 2006).
Waktu baku didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan
untuk memenuhi satu unit kegiatan kerja, (Overseas
Tehnical Opertioan Departement, 1988). Pengukuran-pengukuran,
jika semua data telah didapat memiliki keseragaman yang diinginkan, maka
selesailah kegiatan pengukuran waktu. Langkah-langkah
yang diterapkan untuk mendapatkan waktu
baku dari hasil data yang telah didapat, yaitu (Sutalaksana,
2006):
1.
Menghitung waktu
siklus rata-rata.
Waktu
siklus merupakan jumlah tiap-tiap elemen job.
Keterangan:
= Jumlah waktu penyelesaian yang teramati
N =
Jumlah pengamatan yang dilakukan
2.
Menghitung Waktu Normal.
Waktu
normal merupakan waktu penyelesaian pekerjaan yang diselesaikan oleh pekerja
dalam kondisi wajar dan berkemampuan kerja rata-rata.
Keterangan:
Ws =
Waktu siklus
P =
Faktor penyesuaian
Faktor
penyesuaian (P) diperhitungkan jika pengukur berpendapat bahwa operator bekerja
dengan kecepatan tidak wajar. Sehingga, hasil perhitungan waktu perlu
disesuaikan atau dinormalkan terlebih dahulu untuk mendapatkan waktu siklus
rata-rata yang wajar. Operator bekerja dengan wajar
berarti memiliki faktor penyesuaian sama
dengan satu (P=1), artinya waktu siklus rata-rata sudah normal. Jika
bekerja terlalu lambat maka untuk menormalkan pengukur harus memberi harga P1
dan sebaliknya P1, jika dianggap bekerja terlalu cepat.
3.
Menghitung Waktu
Baku .
Waktu
baku, yaitu merupakan waktu yang dibutuhkan secara wajar oleh pekerja normal
untuk menyelesaikan pekerjaan yang dijalankan dalam sistem kerja terbaik saat
itu.
Keterangan:
Wn = Waktu normal
1 = Kelonggaran (allowance) yang dihasilkan pekerja untuk
menyelesaikan
pekerjaannya disamping waktu normal.
Kelonggaran ini diberikan untuk
hal-hal seperti kebutuhan pribadi, menghilangkan rasa fatigue dan
gangguan-gangguan yang mungkin terjadi yang tidak dapat dihindarkan oleh
pekerja. Umumnya kelonggaran dinyatakan dalam persen dari waktu normal.
2.5 Kelonggaran
Penentuan
waktu baku dilakukan hanya dengan menjalankan beberapa kali pengukuran dan
perhitungan rata-ratanya. Jumlah pengukuran yang cukup dan penyusun satu hal lain
yang kerap kali terlupakan adalah menambah kelonggaran atas waktu normal yang
telah didapatkan. Kelonggaran diberikan untuk tiga hal, yaitu untuk kebutuhan
pribadi, menghilangkan rasa fatigue
dan hambatan-hambatan yang tidak dapat dihindarkan. Ketiganya ini merupakan
hal-hal yang secara nyata dibutuhkan oleh pekerja dan yang selama pengukuran
tidak diamati, diukur, dicatat, ataupun dihitung. Karenanya sesuai pengukuran
dan setelah mendapatkan waktu normal, kelonggaran perlu ditambahkan.
Ketiga hal kelonggaran
tersebut akan dijelaskan seperti berikut ini,
yaitu (Sutalaksana, 2006):
1.
Kelonggaran untuk
kebutuhan pribadi
Kelonggaran kebutuhan pribadi di sini adalah hal-hal
seperti minum sekedarnya untuk menghilangkan rasa haus, ke kamar kecil, dan
bercakap-cakap. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan ketegangan ataupun kejemuan dalam
bekerja.
Kebutuhan-kebutuhan ini jelas terlihat sebagai sesuatu
yang mutlak misalnya, seorang pekerja diharuskan bekerja dengan rasa dahaga
atau melarang pekerja untuk sama sekali tidak bercakap-cakap sepanjang jam-jam
kerja. Larangan demikian tidak saja merugikan pekerja, tetapi juga merugikan
perusahaan. Kondisi
demikian pekerja tidak akan dapat bekerja dengan baik bahkan hampir dapat
dipastikan produktifitasnya menurun.
Besarnya kelonggaran yang diberikan untuk kebutuhan
pribadi seperti itu berbeda-beda dari satu pekerja ke pekerja lainnya, karena
setiap pekerja memiliki karakteristik dan tuntutan yang berbeda. Peneliti yang
khusus perlu dilakukan untuk menentukan
besarnya kelonggaran ini secara tepat seperti dengan sampling pekerjaan.
Berdasarkan penelitian ternyata besarnya kelonggaran bagi pekerja pria berbeda
dengan pekerja wanita. Pekerjaan-pekerjaan ringan pada kondisi-kondisi normal
pria memerlukan 2-2,5% dan
wanita 5% (persentase ini adalah dari waktu normal).
2.
Kelonggaran untuk
menghilangkan rasa fatigue
Rasa fatigue tercermin
antara lain dari menurunnya hasil produksi baik jumlah maupun kualitas. Salah satu cara untuk menentukan besarnya
kelonggaran adalah dengan melakukan pengamatan sepanjang hari kerja dan
mencatat di saat-saat hasil produksi menurun. Masalahnya adalah kesulitan dalam
menentukan saat-saat menurunnya hasil produksi disebabkan oleh timbulnya rasa fatigue,
karena masih banyak kemungkinan lain yang dapat menyebabkannya.
Rasa fatigue telah datang dan pekerja harus
bekerja, maka untuk menghasilkan performance normalnya, usaha yang
dikeluarkan pekerja lebih besar dari normal yang akan menambah rasa fatigue.
Hal ini berlangsung terus pada akhirnya akan terjadi fatigue total.
Artinya adalah jika anggota badan yang bersangkutan sudah tidak dapat melakukan
gerakan kerja sama sekali walaupun sudah dikehendaki. Hal demikian jarang terjadi,
karena berdasarkan pengalamannya, pekerja dapat mengatur kecepatan kerjanya sedemikian
rupa. Selambat-lambatnya gerakan kerja ditunjukan untuk menghilangkan rasa fatigue.
3.
Kelonggaran untuk
hambatan-hambatan tak terhindarkan.
Berdasarkan
pelaksanaan pekerjaan, pekerja tidak akan lepas dari
berbagai hambatan. Terdapat hambatan yang dapat dihindarkan,
seperti mengobrol yang berlebihan dan menganggur.
Hambatan yang tidak dapat dihindarkan,
yaitu jika berada di
luar kekuasaan pekerja untuk mengendalikannya. Hambatan
yang pertama jelas tidak ada pilihan selain menghilangkannya. Penyebab
perlunya diperhitungkan dalam
perhitungan waktu baku. Beberapa contoh yang termasuk ke
dalam hambatan tak terhindarkan adalah:
a.
Menerima atau
meminta petunjuk kepada pengawas.
b.
Melakukan
penyesuaian-penyesuaian mesin.
c.
Memperbaiki
kemacetan-kemacetan singkat seperti, mengganti
alat potong yang patah, memasang kembali ban yang lepas,
dan sebagainya.
d.
Memasang peralatan
potong.
e.
Mengambil alat-alat
khusus atau bahan-bahan khusus dari gudang.
2.6 Tingkat
Ketelitian, Tingkat Keyakinan dan Pengujian Keseragaman
Berbicara tentang tingkat ketelitian, dan pengujian
keseragaman data, sebenarnya adalah pembicaraan tentang pengertian statistik.
Karena untuk memahaminya secara mendalam, diperlukan beberapa pengetahuan
statistik. Tetapi yang dikemukakan pada pasal ini adalah pembahasan kearah
pengertian yang diperlukan dengan cara-cara sederhana (Sutalaksana, 1979).
1.
Tingkat kepercayaan
dan Tingkat Keyakinan
Yang dicari dengan melakukan pengukuran-pengukuran ini
adalah waktu yang sebenarnya dibutuhkan un tuk menyelesaikan suatu pekerjaan.
Karena waktu penyelesaian ini tidak pernah diketahui sebelumnbya maka harus
diadakan pengukuran-pengukuran. Idealnya tentu dilakukan pegukuran-pengukuran
yang sangat banyak (sampai tak terhingga), karena dengan demikian diperoleh
jawaban yang pasti. Tetapi hal ini tidak mungkin karena keterbatasan waktu,
tenaga dan tentunya biaya. Namun sebaliknya jika tidak dilakukan beberapa kali
pengukuran saja, maka dapat diduga hasilnya sangat besar. Sehingga yang
diperlikan adalah jumlah pengukuran yang tidak membebankan waktu, tenaga dan
biaya yang besar tetapi hasilnya tidak dapat dipercaya. Jadi walapun jumlah
pengukuran tidak berjuta kali, tetapi jelas tidak hanya beberapa kali saja
(Sutalaksana, 1979).
Dengan tidak dilakukannya pengukuran yang banyak sekali,
pengukuran akan kehilangan sebagian kepastian akan ketetapan atau rata-rata
waktu penyelesaian yang sebenarnya. Hal ini harus disadari oleh pengukur bahwa
tingkat ketelitian dan tingkat kepercayaan adalah pencerminan tingkat kepastian
yang diinginkan oleh pengukur setelah memutuskan tidak akan melakukan
pengukuran yang sangat banyak.
Tingkat ketelian menunjukkan penyimpangan maksimum hasil
pengukuran dari waktu penyelesaian sebenarnya. Hal ini biasanya dinyatakan
dalam persen. Sedangkan tingkat keyakinan menunjukkan besarnya keyakinan
pengukuran bahwa hasil yang diperoleh memenuhi syarat ketelitian tadi. Tingkat
kepercayaan pun dinyatakan dalam persen. Jadi tingkat ketelitian 5% dan tingkat
kepercayaan 95% memberi arti bahwa pengukuran membolehka hasil pengukuranya
menyimpang sejauh 5% dari rata-rata sebenarnya, dan kemungkinan berhasil
mendapatkan kepercayaan ini adalah 95%. Dengan kata lain, jika pengukuran
sampai memperoleh rata-rata penmgukuran yang menyimpang lebih dari 5%, hal ini
dibolehkan hanya dengan kemungkinan 5% (=100%-95%) (Sutalaksana, 1979).
2.
Pengujian
Keseragaman Data
Sekarang dapat dilihat beberapa hal yang berhubung dengan
pengujian keseragaman data. Secara teoritis yang dilakukan dalam pengujian ini
adalah berdasarkan teori-teori statistik tentang peta kerja kontrol ysng
biasanya digunakan dalam melakukan pengendalian kualitas di pabrik atau
tempat-tempat kerja lain (Sutalaksana, 1979).
2.7 Penyesuaian
Setelah
pengukuran berlangsung, pengukur harus mengamati kewajaran kerja yang ditunjukkan
operator. Ketidakwajaran dapat saja terjadi misalnya bekerja tanpa kesungguhan,
dll. Penyebab di atas dapat mempengaruhi kecepatan kerja. Kecepatan yang
terlalu singkat atau terlalu panjangnya waktu penyelesaian. Hal ini tidak
diinginkan karena waktu baku adalah waktu yang diperoleh dari kondisi dan cara
kerja secara wajar (Sutalaksana, 2006).
Terdapat
4 metode penyesuaian
yaitu metode Shumard, metode Westinghouse, metode persentase, metode Bedaux dan Sintesa.
Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing
metode tersebut (Sutalaksana, 2006):
1.
Metode Shumard
Memberikan
patokan-patokan penilaian melalui kelas-kelas kinerja kerja dengan setiap kelas
mempunyai nilai sendiri-sendiri. Disini pengukur diberi patokan untuk menilai
performansi kerja operator menurut kelas-kelas superfast, fast+, fast, fast-, excellent, dan seterusnya. Berikut ini adalah tabel penyesuaian menurut cara
Shumard.
Tabel 2.2 Penyesuaian Shumard
Kelas
|
Penyesuaian
|
Superfast
Fast
+
Fast
Fast
–
Excellent
Good
+
Good
Good
–
Normal
Fair
+
Fair
Fair
–
Poor
|
100
95
90
85
80
75
70
65
60
55
50
45
40
|
2.
Metode Westinghouse
Mengarahkan penilaian
pada 4 faktor yang dianggap menentukan kewajaran atau ketidakwajaran. Keempat
faktor tersebut adalah keterampilan, usaha, kondisi kerja, dan konsistensi.
Setiap faktor terbagi dalam kelas-kelas dengan nilainya masing-masing.
Keterampilan atau skill didefinisikan
sebagai kemampuan mengikuti cara kerja yang ditetapkan. Usaha adalah
kesungguhan yang ditunjukkan atau diberikan operator ketika melakukan pekerjaannya.
Kondisi kerja adalah kondisi fisik lingkungannya seperti keadaan pencahayaan,
suhu, dan kebisingan ruangan. Konsistensi adalah salah satu faktor yang harus
diperhatikan karena pada pada setiap pengukuran waktu angka-angka yang dicatat
tidak pernah semuanya sama. Berikut ini
adalah tabel penyesuaian menurut cara Westinghouse.
Tabel 2.3 Penyesuaian Westinghouse
Faktor
|
Kelas
|
Lambang
|
Penyesuaian
|
Keterampilan
|
Superskill
Excellent
Good
Average
Fair
Poor
|
A1
A2
B1
B2
C1
C2
D
E1
E2
F1
F2
|
+
0,15
+
0,13
+
0,11
+
0,08
+
0,06
+
0,03
0,00
- 0,05
- 0,10
- 0,16
- 0,22
|
Usaha
|
Excessive
Excellent
Good
Average
Fair
Poor
|
A1
A2
B1
B2
C1
C2
D
E1
E2
F1
F2
|
+
0,13
+
0,12
+
0,10
+
0,08
+
0,05
+
0,02
0,00
- 0,04
- 0,08
- 0,12
- 0,17
|
Kondisi
Kerja
|
Ideal
Excellenty
Good
Average
Fair
Poor
|
A
B
C
D
E
F
|
+
0,06
+
0,04
+
0,02
0,00
- 0,03
- 0,07
|
Konsistensi
|
Perfect
Excellenty
Good
Average
Fair
Poor
|
A
B
C
D
E
F
|
+
0,04
+
0,03
+
0,01
0,00
- 0,02
- 0,04
|
3.
Metode persentase
Metode ini besarnya faktor penyesuaian sepenuhnya ditentukan
oleh melalui pengamatannya selama
melakukan pengukuran. Jadi sesuai dengan pengukuran dia menentukan harga p yang
menurut pendapatnya akan menghasilkan waktu normal bila harga ini dikalikandengan
waktu siklus.
4.
Metode Bedaux dan Sintesa
Cara Bedaux tidak
banyak berbeda dengan cara Shumard, hanya saja nila-nilai pada cara Bedaux
dinyatakan dalam “B” (huruf pertama Bedaux, penemunya) seperti misalnya 60 B
atau 70 B. Sedangkan cara Sintesa sedikit berbeda dengan cara-cara lain, dimana
dalam cara ini waktu penyelesaian setiap elemen gerakan dibandingkan dengan
harga-harga yang diperoleh dari tabel-tabel data waktu gerakan, untuk kemudian
dihitung harga rata-ratanya. Harga rata-rata yang dinilai sebagai faktor
penyesuaian bagi satu siklus yang bersangkutan. Misalkan waktu penyelesaian
untuk elemen-elemen pekerjaan pertama, kedua dan ketiga bagi suatu siklus
adalah 17, 10 dan 32 detik. Dari tabel-tabel data waktu gerakan didapat untuk
elemen-elemen yang sama masing-masing 12, 12 dan 29 detik. Yang berbeda adalah
pada elemen-elemen kedua dan ketiga. Maka untuk elemen-elemen ini
perbandingannya adalah 12/10 dan 29/32, rata-ratanya yaitu 1,05 adalah faktor
penyesuaian untuk ketiga elemen pekerjaan tersebut atau untuk seluruh siklus
yang bersangkutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar