Cari Blog Ini

Rabu, 21 Maret 2012

tugas kewarganegaraan


KEKUATAN UDARA
DAN PERTAHANAN NASIONAL

Tulisan ini mencoba melihat pembelian Sukhoi dari kerangka pikir yang lebih luas yaitu dengan menghubungkannya dengan masalah kebutuhan pertahanan nasional. Pertahanan di sini diartikan sebagai pertahanan terhadap ancaman bersenjata atau yang berimplikasi pada penggunaan kekuatan bersenjata yang datang dari kekuatan eksternal.
Kebijakan pertahanan nasional selalu diarahkan pada tiga tujuan fundamental yaitu perlindungan wilayah/teritorial, kedaulatan, dan keselamatan bangsa. Dalam konteks Indonesia, upaya untuk memenuhi kepentingan pertahanan nasional di atas harus memperhatikan, pertama, faktor geostrategis negara baik ke dalam dan keluar. Ke dalam, yaitu untuk menciptakan sistem pertahanan nasional yang kredibel yang didasarkan atas konsep unified approach atau a single all-encompassing strategy yang meng-cover 17 ribu lebih pulau dengan luas 7.7 juta Km2 (termasuk wilayah zona ekonomi eksklusif) dengan panjang pantai sekitar 80 ribu kilometer. Upaya bela negara bagi negara kepulauan seperti Indonesia berarti juga mempertahankan kedaulatan maritim dan sumber daya yang berada di dalamnya. Keluar, untuk menciptakan faktor penangkal yang kuat kepada pihak eksternal, paling tidak melalui pengembangan kemampuan surveillance dan reconaissance.
Kedua, sistem dan strategi pertahanan nasional harus memperhatikan perubahan-perubahan dunia internasional, terutama perubahan sifat perang, sifat dan bentuk ancaman dalam dunia yang digerakkan oleh perkembangan pesat di bidang teknologi dan komunikasi. Perang modern, dengan pengecualian perang untuk menggulingkan suatu rejim, tidak lagi didominasi perang teritorial yang dilakukan dengan konsep-konsep perlawanan bersenjata secara gerilya, melainkan merupakan perang yang menekankan penghancuran infrastruktur vital atau center of gravity. Perkembangan ini mau tidak mau haruslah mengubah cara pandang/paradigma pertahanan negara Indonesia sebagai negara kepulauan. Kalaupun pemikiran-pemikiran atas dasar land-based strategy masih dipertahankan, strategi ini akan berjalan efektif dengan dukungan kekuatan udara dan laut. Dalam sejarahnya, terutama sejak abad ke 20, kekuatan darat selalu menghadapi kesulitan dalam menghadapi kekuatan udara yang tangguh. Lebih ekstrim lagi, pada era modern ini, kekuatan darat tidak pernah menang tanpa bantuan kekuatan udara (mungkin dengan pengecualian kasus kemenangan Vietnam Utara atas Vietnam Selatan tahun 1975). Sebaliknya, bahkan dalam apa yang disebut sebagai low-intensity conflict pun kekuatan udara mempunyai keunggulan atas kekuatan darat yang menggunakan taktik perang gerilya, terutama dalam aspek mobilitas, pengintaian udara, kemampuan pukul balik yang cepat. Dewasa ini kelihatan bahwa kekuatan laut pun harus didukung oleh kekuatan udara untuk keberhasilan misi-misi mereka. Lebih jauh, kemajuan teknologi informasi dan persenjataan, misalnya munculnya rudal-rudal balistik, telah mengaburkan. Batas-batas teriorial dan sifat perang menjadi lebih cepat, negara makin rawan terhadap serangan preemptif, dan memerlukan kekuatan mobile dan efektif.
Saat ini ancaman sangat menyebar dan bergerak dengan cepat, serta bersifat multidimensional. Perang teritorial dengan melakukan pendudukan atas wilayah musuh menjadi tidak populer dan mahal baik secara finansial, politik, dan moral. Sifat dan bentuk ancamann menjadi makin kompleks terutama dengan memperhatikan posisi geografis Indonesia. Indonesia sedang dan akan menghadapi masalah-masalah baru yang tidak dapat dihindarkan misalnya migrasi ilegal, perdagangan obat bius dan obat-obat terlarang lain, pencucian uang, pencurian ikan, perdagangan gelap yang lain, serta terorisme internasional.
Perkembangan-perkembangan ini telah merubah cara pandang dalam pemikiran dan perencanaan strategis yang mengarah pada kebutuhan akan kekuatan yang terlatih dan dilengkapi dengan kemampuan untuk bergerak cepat. Dalam kaitan ini kekuatan udara akan mempunyai peran yang sangat penting dan strategis karena kecepatan dan fleksibelitasnya. Dalam perkembangan terakhir, kita menyaksikan era dominasi kekuatan udara dalam peperangan modern. Kekuatan udara telah berhasil menciptakan situasi dan mempengaruhi bagaimana perang dilakukan, menyediakan berbagai pilihan-pilihan operasi militer, bahkan membendung musuh tidak hanya dalam pertempuran, melainkan juga dalam mengembangkan strategi mereka secara umum.
Argumen di atas tidak untuk menolak pentingnya kekuatan darat sebab bagaimanapun kekuatan udara tidak akan pernah mampu melakukan penguasaan daratan. Melainkan untuk menegaskan bahwa kekuatan udara merupakan kekuatan utama yang membentuk paradigma tentang perang dan perencanannya, pengorganisasian (organising), penyusunan (structuring), dan komando (commanding) kekuatan militer, terutama bagi negara-negara yang mempunyai wilayah kepulauan sangat luas dan menyebar.

Implikasi terhadap strategi pertahanan

Perubahan internasional, sifat perang, bentuk dan sifat ancaman, dan reformasi di dalam tubuh militer Indonesia menjadi faktor penting dalam merubah strategi pertahanan Indonesia yang masih bertumpu pada doktrin kekuatan darat dengan implikasi institusi yang berwujud struktur teritorial. Perdebatan mengenai struktur teritorial muncul, tidak hanya karena pengalaman implikasi negatifnya terhadap sistem politik Indonesia, tetapi juga karena dilihat tidak efektif untuk memenuhi kepentingan pertahanan Indonesia dari bentuk dan sumber ancaman, jenis konflik, dan perkembangan teknologi dan informasi di masa depan. Dua kejadian masing-masing di atas Bawean, Jawa Timur, dan di sekitar Natuna baru-baru ini, menunjukkan betapa lemahnya pertahanan udara dan laut kita. Hal yang sama juga bisa kita lihat dalam kasus maraknya bajak laut, penyelundupan/pencurian ikan, dan berbagai pelanggaran wilayah udara dan laut. Ancaman baru ke depan akan lebih banyak memanipulasi keterbukaan wilayah laut dan udara Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya yang justru menjadi kelemahan dan sumber kerugian yang selama ini ditanggung oleh Indonesia.
Secara umum doktrin pertahanan berisi konsepsi tentang hakekat, bentuk, dan sumber ancaman. Doktrin kemudian dijabarkan ke dalam strategi, postur dan struktur kekuatan (posture and force structure), dan penggelarannya. Sistem pertahanan Indonesia didasarkan atas doktrin pertahanan semesta (sishanta) yang baik dilihat dari sisi sejarah maupun strategi militer, mengandung tiga masalah. Pertama, bahwa doktrin ini masih mempunyai implikasi politik dalam arti luas yang sangat kental, meskipun secara formal dwifungsi sudah dihapus. Kedua, sistem pertahanan yang bertumpu pada matra kekuatan darat perlu ditinjau lagi karena tidak sesuai dengan posisi Indonesia sebagai negara kepulauan dan membuat pertahanan militer Indonesia sangat terbuka terhadap ancaman udara dan maritim serta serangan musuh. Ketiga, sishanta sebenarnya bukan monopoli Indonesia. Singapura memiliki apa yang disebut total defence. Demikian juga dengan negara-negara lain yang memiliki dinas wajib militer melalui sistem konskripsi (conscription) atau mobilisasi. Land-based strategy dalam sishanta di Indonesia harusnya merupakan pilihan terakhir.
Untuk itu harus dilakukan restrukturisasi. Restrukturisasi sistem pertahanan Indonesia harus semata-mata berdasarkan pada kepentingan pertahanan (defence), bukan politik. Sebagai negara kepulauan yang terbuka, maka harusnya Indonesia mengembangkan strategi pertahanan yang bersifat active defence yang harus ditopang oleh kekuatan udara yang memadai. Active defence bisa berperan sebagai faktor penangkal yang efektif (deterrence factor).
Idealnya, upaya restrukturisasi dilakukan setelah defence review yang didahului analisis mengenai lingkungan strategis, potensi ancaman, dan tantangan keamanan ke depan. Dari analisis ini lahir titik-titik rawan wilayah Indonesia yang dijadikan dasar bagi pengembangan kekuatan militer. Untuk mengatasi titik-titik rawan hasil analisis tersebut perlu dikembangkan wilayah pertahanan yang mengarah pada pengembangan strategi defence in-depth di mana kekuatan udara (dan laut) akan menjadi kekuatan utama dalam zona pertahanan pertama dan kedua. Kebutuhan minimum pertahanan dalam strategi dan zona pertahanan ini adalah air surveillance dan reconnaissance yang dapat memberikan suatu early warning dan analisis tentang intensi (maksud). Ini bisa dicapai dengan melakukan kegiatan surveillance dan reconnaissance secara terus-menerus sehingga ditemukan pola perilaku. Dalam bidang pertahanan, air surveillance berperan tiga hal: strategic role, informasi intelijen, kontribusi pada operasi militer.
Gambaran di atas barangkali kelihatan ideal, tetapi sekaligus merupakan kebutuhan/tuntutan ke depan. Indonesia harus menerapkan strategi pertahanan yang sesuai dengan posisi geo-strategis dan perkembangan-perkembangan internasional yang melahirkan beragam bentuk dan sifat ancaman. Gambaran tentang perlunya pengembangan kekuatan udara tentu tidak terbatas pada masalah-masalah di atas. Perlu perumusan kebijakan atas dasar pertimbangan atau prioritas aspek mana yang harus diperkuat. Selain itu, ada implikasi finansial, politik, baik dalam negeri maupun luar negeri, dan sistem pertahanan secara keseluruhan. Ini semua membutuhkan komitmen politik nasional dari semua stakeholders terutama terhadap reformasi bidang keamanan. Jadi, sebenarnya kebutuhan pertahanan tidak pernah lahir secara mendadak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar